PERSATUAN NARAPIDANA INDONESIA

Persatuan Narapidana Indonesia, mencoba menyuarakan secara profesional hak-hak dan kewajiban narapidana di Indonesia. Berdasarkan Undang-undang dan peraturan yang berlaku di Indonesia

PANGLIMA DENSUS 86 LAPAS KLAS I CIPINANG

Kebersamaan yang dibangun antara narapidana dengan petugas Lapas, dalam rangka PEMBINAAN KEPRIBADIAN sebagai wujud pelaksanaan Undang-Undang Pemasyarakatan

KAMI ADALAH SAUDARA, SEBAGAI ANAK BANGSA INDONESIA

Dalam Kebersamaan peringatan Hari Proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 2006, Kami sebagai anak bangsa, juga ingin berperan aktif dalam mengisi pembangunan di Indonesia

Artis Ibukota berbagi Keceriaan dan Kebahagiaan bersama Narapidana Indonesia

Bersama Artis Ibukota, mereka yang mau peduli dan berbagi kebahagiaan bersama narapidana dalam rangka perayaan Hari Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

RANTAI REMISI KORUPTOR

Soal ini memang topik lama, bahkan mungkin topik usang. Telah banyak cerdik pandai memberi komentar. Namun kebijakan remisi (pengurangan hukuman) terhadap narapidana, tidak bisa dibatalkan, sebab diatur dalam UU 12/1995 tentang Pemasyarakatan.

Kamis, 29 April 2010

Lapas Distandarkan

Jumat, 29 Januari 2010

Sumber: Republika

Yulianingsih,

Hak kesehatan dari pendidikan para napi harus tetap dipenuhi.

YOGYAKARTA- Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Patrialis Akbar menyatakan,tahun 2010 ini akan dilakukan standardisasi pelayanan di seluruh lembaga pemasyarakatan (lapas) di Indonesia. Standardisasi itu dilakukan untuk penegakan hak asasi para narapidana di seluruh lapas dan peningkatan kesejahteraan pegawai lapas.

"Saya ingin pelayanan lapas terstandar. Lapas menjadi lebih nyaman karena penegakan HAM untuk napi akan terus kita lakukan dan kesejahteraan pegawai lapas juga kita tingkatkan," ungkapnya kepada wartawan seusai mengunjungi ruang pamer karya para napi dari seluruh lapas se-Indonesia di Kompleks Lapas Wirogunan Yogyakarta, Kamis (28/1).

Menurut Patrialis, menjadikan lapas sebagai lembaga yang nyaman berarti meniadakan kekerasan di dalam lembaga tersebut, meniadakan pungutan liar, dan memberikan hak-hak para napi secara utuh. Diakuinya, HAM para napi, seperti kesehatan, pendidikan, dan penghasilan atau pendapatan harus tetap dipenuhi. Hak dasar tersebut wajib dipenuhi meskipun menjadi seorang napi.

"Hak-hak perdata mereka telah diambil, tetapi hak asasi mereka tetap tidak kita langgar. Penegakan HAM bagi mereka tetap harus dilakukan, kalau ada napi yang harus pasang AC (air conditioner) karena faktor kesehatan dan menurut rekomendasi dokter, ya kita pasang," katanya menegaskan.

Karena itu, melalui standardisasi tersebut diharapkan hak asasi para napi di Indonesia semakin ditegak-
kan. Selain menjadikan pelayanan di lapas menjadi lebih nyaman, pihaknya juga akan mengusahakan adanya penghasilan tetap bagi para napi meskipun berada di dalam lapas. "Setelah 100 hari ini, saya akan panggil seluruh pengusaha besar. Kita akan membahas itu."

Menurutnya, bersama para pengusaha, pihaknya akan membuat sebuah lapangan kerja di dalam lapas untuk para napi. Melalui lapangan kerja tersebut, para napi akan memperoleh penghasilan tetap yang seluruh penghasilannya menjadi hak napi itu sendiri.

Saat ditanya, apakah hal tersebut justru tidak membuat jera para napi masuk lapas? Patrialis mengatakan, membuat jera para napi akibat perbuatan hingga memasukkannya ke lapas bukan dengan cara kekerasan. "Mereka sudah tidak boleh menghirup udara bebas selama masa tahanan, itu saja sudah membuat jera. Untuk membuat jera koruptor juga bukan dengan cara

kekerasan, tetapi dengan cara pemiskinan. Semua kekayaannya kita sita dan tidak boleh digunakan. Itu sudah cukup membikin jera," katanya. Sementara itu, terkait peningkatan kesejahteraan pegawai lapas, pihaknya tahun 2010 ini baru menyusun sistem remunerasi bagi para pegawai lapas. Sebelum mengunjungi gedung pamer karya penghuni lapas se-Indonesia, Menkumham juga meresmikan pembukaan website konsultasi hukum di setiap kecamatan dan 10 perguruan tinggi di DI Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Menkumham juga meresmikan pusat bantuan hukum anak bekerja sama dengan LBH Yogyakarta.

Sementara itu, menurut pengelola gedung pamer. Mardiyanto, gedung itu adalah tempat memajang karya para napi dari seluruh lapas di Indonesia. "Ini adalah karya para napi yang dikirim dari lapas di Medan, Aceh, Lampung, dan DIY," terangnya. ed maghfiroh


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4009&Itemid=99999999


Prodeo Bagi Penjahat Tipikor Resmi Beroperasi

Politikindonesia - Mulai Selasa (27/04) ini, rumah tahanan khusus bagi para penjahat korupsi resmi beroperasi. Peresmiannya dilakukan oleh Menter Hukum dan HAM Patrialis Akbar.

Rutan berlantai tiga ini berada dalam komplek lembaga pemasyarakatan (Lapas) Cipinang. Rutan yang luasnya 5,7 hektare tersebut terdiri dari 64 sel dengan kapasitas 256 tahanan. Untuk lantai bawah, diberikan khusus untuk tahanan lansia dan tahanan yang sakit-sakitan. Ruangan selnya berukuran 3 x 6 meter.

Sedangkan untuk lantai dua dan tiga, tiap sel berukuran 7 x 5 meter dan satu sel ditempati oleh lima tahanan.

Pada masing-masing sel terdapat satu toilet duduk dan fentilasi langsung udara. Tiap tahanan juga mendapat jatah satu kasur lipat dari karet. Ada juga CCTV di tiap selasar dan tiap lantai. Rutan ini juga menyediakan fasilitas pembinaan.

Meski dirancang untuk memberikan rasa nyaman, namun rutan khusus Tipikor ini juga tetap memprioritaskan pengamanan dan pengawasan. Pengadaan CCTV untuk mencegah orang keluar masuk tanpa izin dan mencegah terjadinya suap menyuap dengan petugas.

Jauh Dari Angker

Dalam sambutannya saat peresmian Rutan Klas I Khusus Tipikor itu, Patrialis menegaskan pihaknya berupaya mengubah paradigma masyarakat terhadap rumah tahanan yang selama ini terkesan angker dan mengerikan.

“Kebangkitan lapas dimaknai oleh sebuah transformasi paradigma bahwa penjara itu tidak lagi berdasarkan kesan pembalasan atau kesan angker, tapi lebih ke upaya manusiawi untuk lakukan pembinaan terhadap para narapidana agar dapat berintegrasi dalam kehidupan bermasyarakat."

Patrialis menerangkan, reintegrasi sosial merupakan model pembinaan yang dianut dalam pelaksanaan pemasyarakatan. Dasarnya, adalah pandangan bahwa pelanggaran hukum terjadi karena adanya disharmoni kehidupan dalam bermasyarakat. “Karena itu, pemasyarakatan merupakan sebuah proses untuk memulihkan hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan pelanggar hukum.”

Gandeng Ombudsman

Diceritakan Patrialis, untuk meningkatkan reformasi birokrasi di dalam Lapas, Kemenhuk HAM melakukan kerja sama dengan Komisi Ombudsman, terutama dalam hal pelayanan kepada penghuni Lapas.

“Kita melakukan penandatanganan dengan Komisi Ombudsman untuk meningkatkan pelayanan kepada warga binaan maupun masyarakat menyangkut masalah manajemen maupun pelaksananaan pemidanaan."

Dikatakan Patrialis, program lembaga pemidanaan kini memasuki tahap kedua. Tahapan pertama, mengubah penjara menjadi lembaga pemasyarakatan. Kini Kemenhukham berupaya mengubah image Lapas melalui reformasi birokrasi. “Di Hari Bakti Pemasyarakatan ke-46 ini, kita akan wujudkan kebangkitan pemasyarakatan kedua tahun 2010 melalui reformasi birokrasi.”

Tak hanya dengan Komisi Ombudsman, Kemenhukham juga melakukan kerja sama dengan Kementerian Kesehatan untuk menyediakan program kesehatan gratis. Sedangkan untuk meningkatkan kreatifitas dan produksi warga binaan, Kemenhukham menggandeng Kadin.

“Kita juga akan bekerja sama dengan Kadin dalam upaya untuk mengembangkan kegiatan produksi di Lapas,” tandasnya.
(nit/yk)

http://www.politikindonesia.com/index.php?k=hukum&i=6758




Memahami Penjara


Oleh : Iqrak Sulhin

Kriminolog UI, Direktur Center for Detention Studies


Temuan adanya kamar mewah untuk Ayin dan narapidana lainnya di Rumah Tahanan Pondok Bambu tidak terlalu mengejutkan. Cerita tentang perlakuan istimewa bagi narapidana yang memiliki uang sudah menjadi rahasia umum. Sebuah buku terbit di Australia pada 2009 bahkan menggambarkan dengan sangat rinci kehidupan sebuah penjara di Indonesia yang mengerikan sekaligus memilukan. Jual beli kamar, narkoba, pekerja seks, menggunakan telepon seluler, laptop, hingga perlakuan istimewa untuk keluar penjara.

Pertanyaannya, mengapa terjadi? Jawaban untuk itu mungkin dimulai dengan sedikit respons terhadap kerja Satgas Pemberantasan Mafia Hukum yang 'mengungkap' itu ke permukaan. Berbeda dengan kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dalam konteks sistem peradilan pidana, posisi sistem pemasyarakatan (seperti rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan) relatif 'lemah'.

Bila polisi, jaksa, dan hakim hanya mengelola fungsi sebagai penegak hukum, rutan dan LP, selain mengelola fungsi pembinaan, juga sekaligus mengelola fisik, yaitu fisik tahanan maupun narapidana dan tempat penahanan atau penjara itu sendiri. Oleh karena itu, dapat dipahami mengapa Satgas Mafia Hukum memulai kerjanya yang terkesan seperti reality show tersebut di Rutan Pondok Bambu karena memang paling mudah dilihat dan sulit untuk dielakkan. Itu berbeda dengan karakteristik mafia hukum di kepolisian, kejaksaan, atau pengadilan yang sulit diidentifikasi.

Tulisan ini tidak bertendensi mengatakan satgas tersebut tidak perlu melakukan tindakan seperti itu. Toh sistem pemasyarakatan perlu mengakui masalah itu jamak ditemukan dan telah berlangsung sangat lama, hampir di setiap rutan atau LP di Indonesia. Bahkan ada indikasi pembiaran karena sangat mungkin oknum-oknum tertentu menikmati hasil dari pelanggaran tersebut. Termasuk pembiaran oleh kantor wilayah dan kewenangan pengawasan di inspektorat departemen. Jadi, kerja satgas bersifat instrumental dalam memberikan terapi kejut kepada pihak-pihak lain yang tentu saja sekarang ini tidak sesial Kepala Rutan Pondok Bambu yang dicopot.

Namun, terkait dengan masalah di rutan dan LP ini, satgas perlu memahami bahwa melakukan sidak tidak mampu menyelesaikan masalah yang mendasar. Meski terkesan klise, semua pihak perlu mengetahui bahwa dalam perspektif organisasi penjara selalu berhadapan dengan setidaknya tiga hal. Pertama, masalah otonomi yang terkait dengan terbatasnya pilihan dalam perencanaan dan penganggaran. Seperti masalah anggaran dan sumber daya manusia, rutan dan LP tidak berada dalam posisi yang memiliki kewenangan untuk menambah atau mengurangi.

Demikian pula halnya dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, sebagai direktorat teknis yang hanya memiliki kewenangan dalam memberikan usulan. Kewenangan perencanaan dan penganggaran dalam struktur Departemen Hukum dan HAM ada pada jalur kantor wilayah dan fungsi sekretariat jenderal. Jadi, buruknya kualitas makanan dan pemenuhan hak-hak dasar lainnya juga merupakan tanggung jawab dari kantor wilayah dan departemen umumnya. Meskipun, dalam banyak kasus, itu juga disebabkan oleh penyimpangan yang dilakukan pada tingkat teknis. Kesenjangan antara kebutuhan fungsional dan dukungan fasilitatif ini merupakan salah satu faktor makro yang perlu diperhatikan dalam upaya perubahan di pemasyarakatan.

Mungkin perlu didiskusikan kembali apakah pola hubungan struktural di Departemen Hukum dan HAM sekarang ini sudah akomodatif terhadap kebutuhan di tingkat teknis. Perlu diketahui bahwa, pola hubungan terintegrasi (integrated), sebagaimana yang sekarang diterapkan oleh Kemenkum dan HAM, adalah pola yang efektif apabila fungsi-fungsi pada tingkat direktorat teknis saling terkait, dengan fungsi satu berpengaruh pada fungsi yang lain.

Padahal bila diambil contoh dua direktorat teknis terbesar di Kemenkum dan HAM, yaitu Direktorat Pemasyarakatan dan Imigrasi, di antara keduanya jelas memiliki fungsi yang berbeda dan tidak saling terkait meski masih berada dalam kerangka penegakan hukum dan perlindungan hak asasi manusia. Oleh karena itu, pola hubungan struktural yang lebih otonom mungkin patut dikaji kembali, sambil memikirkan bagaimana pengawasan bisa dilakukan secara efektif bila pola hubungan struktur yang otonom tersebut dipilih.

Kedua, adalah masalah teknologi, yaitu kemampuan pelaksanaan fungsi teknis khususnya pola, bentuk, substansi dan kapasitas pendukung proses pembinaan. Banyak penelitian memperlihatkan tidak efektifnya perawatan dan pembinaan yang dilakukan oleh rutan dan LP. Pembinaan pun cenderung seragam, tidak variatif, yang seharusnya menyesuaikan dengan karakteristik tahanan atau narapidana. Hal ini memang sangat terkait dengan masalah otonomi yang telah dijelaskan sebelumnya. Banyak pembinaan yang tidak berjalan karena minimnya dukungan fasilitatif, karena sumber daya yang terbatas lebih banyak dialokasikan untuk pengamanan rutan atau LP.

Ketiga, masalah kontrol, terhadap tahanan atau narapidana dan terhadap petugas serta otoritas rutan dan LP. Perlu dipahami bahwa rumah tahanan dan penjara adalah sebuah masyarakat yang memiliki kultur khusus. Corak ragam perilaku di dalam penjara adalah representasi kehidupan masyarakat umumnya. Termasuk model manajemen kekuasaan yang diterapkan oleh otoritas penjara. Jadi, tidak perlu heran bila seorang koruptor atau seorang makelar kasus kakap, ketika tidak lagi sebagai manusia bebas, akan melakukan hal yang sama di dalam penjara.

Demikian pula petugas penjara, yang merupakan bagian dari manajemen kekuasaan dan kultur birokrasi Indonesia yang masih adaptif terhadap penyimpangan. Perpaduan antara kebutuhan akan keamanan serta upaya mengurangi penderitaan pemenjaraan dan kecenderungan birokrasi yang korup inilah yang menghasilkan kemewahan seperti yang terakhir dinikmati Ayin di Pondok Bambu.

Bagaimana pengawasan dapat dilakukan secara efektif bila kultur masyarakat penjara bersifat adaptif terhadap penyimpangan? Meskipun klise, tulisan ini melihat bahwa tidak logisnya proporsi antara petugas dan total tahanan dan narapidana adalah salah satu penyumbang utama lemahnya kontrol terhadap kehidupan penjara. Kondisi itu memang dilematis, baik bagi petugas maupun otoritas rutan atau LP. Bila manajemen pengendalian yang diterapkan bersifat ketat, disiplin tinggi dan keras, sementara jumlah petugas tidak proporsional, rutan atau LP akan potensial rusuh karena resistensi dari tahanan atau narapidana.

Jadi, dapat dipahami mengapa petugas dan otoritas penjara lebih mengambil pilihan-pilihan yang membiarkan tahanan atau narapidana berjudi, memasak, atau melakukan sesuatu yang melanggar aturan, asal tidak melakukan kerusuhan atau melarikan diri. Berdasarkan data akhir 2009, total tahanan dan narapidana di Indonesia hampir mencapai 140.000 orang. Sementara itu, total petugas pemasyarakatan, termasuk pejabat struktural, sekitar 28.000 orang. Jumlah total tahanan dan narapidana ini bila dibandingkan dengan kemampuan/kapasitas rutan atau LP juga tidak bisa dianggap proporsional.

Kontrol atau pengawasan terhadap petugas atau otoritas rutan dan LP juga perlu mendapatkan evaluasi terkait dengan hal ini. Sebagai organisasi di dalam lingkup Kemenkum dan HAM, inspektorat perlu konsisten dalam menjalankan pengawasan, yang diperlihatkan dengan konsistensi penindakan terhadap pelanggaran. Selain itu, pada tingkat teknis, mekanisme pengawasan langsung oleh atasan juga perlu diperkuat. Jamaknya penyalahgunaan kewenangan salah satunya disebabkan oleh hal ini.

Pertanyaan mengapa pengawasan internal cenderung tidak efektif sangat terkait dengan kultur birokrasi, dengan ada keengganan untuk menindak pihak yang sama-sama pegawai pemerintah, atau karena pengawas adalah pihak yang juga diuntungkan oleh pelanggaran yang terjadi. Salah satu jalan keluar bagi lemahnya pengawasan ini adalah dengan mulai membuka diri terhadap pengawasan eksternal dari unsur masyarakat. Ide monitoring eksternal yang coba didorong oleh Protokol Opsional Konvensi Antipenyiksaan, bila dicermati dengan baik mekanismenya, cukup memberikan peluang untuk perbaikan rutan atau LP. Hal yang dipentingkan dalam monitoring ini tidak berada pada subjek dan penyimpangannya, tetapi pada upaya yang perlu dilakukan untuk mencegah penyimpangan. Resistensi terhadap instrumen ini perlu dipikirkan kembali.

Terakhir, upaya reformasi terhadap sistem pemasyarakatan tidak dapat dipandang secara parsial. Banyak aspek yang terkait sehingga reformasi birokrasi pemasyarakatan dan Kemenkum dan HAM umumnya perlu disegerakan karena memang telah diprioritaskan. Subsistem peradilan pidana yang lain (polisi, jaksa, hakim) juga memiliki peran penting dalam upaya mengurangi masalah overcrowded di rutan atau LP. Tidak semua pelaku pelanggaran hukum perlu ditahan atau dipenjarakan. Tentu saja pada aspek politik, pemerintah dan kekuasaan legislatif memberikan payung hukum untuk langkah-langkah nonpemidanaan dan nonpemenjaraan bagi subjek-subjek khusus, seperti anak, first offender, pelaku kejahatan ringan, murni pengguna narkoba, atau perempuan dengan tanggungan anak***


http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=3938&Itemid=99999999


Kamis, 22 April 2010

Patrialis Akan Undang Pengusaha ke Penjara. "Kami akan membuat lapangan kerja di sana."


Sumber: Koran Tempo

YOGYAKARTA - Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar mengatakan akan mengundang seluruh pengusaha besar ke lembaga pemasyarakatan pasca-100 hari program pemerintah. "Bersama para pengusaha, kami akan membuat lapangan kerja di dalam lapas untuk para napi," ujar Patrialis saat membuka pameran kerajinan karya para narapidana se-Indonesia di Lembaga Pemasyarakatan (lapas) Wirogunan,Yogyakarta kemarin.

Menurut dia, melalui lapangan kerja tersebut, para napi akan memperoleh penghasilan tetap, yang seluruh penghasilannya menjadi hak napi.Untuk mewujudkannya, Patrialis akan menggandeng para pengusaha besar untuk memasarkan produk mereka. "Keuntungannya 100 persen untuk para napi," kata Patrialis.

Kemarin, hasil kerajinan karya para narapidana seluruh Indonesia dipamerkan di gedung Pamer Karya Napi, Yogyakarta, yang berada di seberang Lapas Wirogunan di Jalan Taman Siswa, Yogyakarta. Dalam kesempatan itu, Patrialis membeli sepatu karya narapidana.

Sepatu yang dipamerkan adalah berbahan kulit, seperti sepatu lars untuk polisi, tentara, dan sipir. Harga sepatu itu bervariatif, mulai Rp 75 ribu hingga Rp 150 ribu.Patrialis juga memerintahkan para petugas lapas membeli produk
karya narapidana itu. "Jangan hanya orang lain yang membeli produk mereka, tetapi para petugas lapas juga harus membeli di sini,"ujar Patrialis.

Selain sepatu, produk lainnya berupa tempat lilin, tisu, kap lampu, tas, asbak, lilin hias, tempat telepon seluler, lukisan, dan lain-lain. Harga termurah dipatok Rp 7.500 untuk tempat tisu.Menurut Patrialis, meskipun secara fisik para napi itu terpenjara alias tidak bebas, hak-hak dasar mereka harus diberikan. Hak-hak dasar itu meliputi bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, penghasilan, dan hak untuk hidup dengan nyaman meski berada di penjara. "Warga binaan harus diperlakukan secara manusiawi," katanya.

Sebab, Patrialis melanjutkan, jika mereka bisa berkarya dan mendapatkan penghasilan, para napi "di-manusiakan" dan tidak akan terjadi saling"palak"antarnapi.Lapas, kata dia, harus dibersihkan dari tindak kekerasan, pungutan liar, dan memberi hak-hak para napi secara utuh, termasuk kesehatan, pendidikan, dan penghasilan. "Jadi, kalau ada napi yang membutuhkan AC {air conditioner) karena faktor kesehatan dan dokter mere-komendasikannya, ya kita pasang," ujar Patrialis.

Selain itu, kata Patrialis, pada 2010, pihaknya akan melakukan standardisasi pelayanan di seluruh lapas di Indonesia. Standardisasi itu meliputi penegakan hak asasi para narapidana di seluruh lapas dan peningkatan kesejahteraan pegawai papas.

Marjiyanto, petugas Lapas Wonosari yang mengkoordinasi pameran karya para narapidana, mengatakan bahwa pameran karya para narapidana itu untuk meningkatkan kreativitas penghuni lapas. "Juga untuk penghasilan mereka. Meski di dalam penjara, tidak 100 persen mereka kehilangan mata pencarian," katanya.

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=3992&Itemid=99999999


Selasa, 20 April 2010

Menkum dan HAM Kagumi Lapas Narkotika Yogyakarta

Senin, 01 Februari 2010

Sumber: Suara Karya

SLEMAN (Suara Kaiya) Menteri Hukum dan HAM Patrialis Akbar mengatakan dirinya mengagumi Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Narkotika kelas IIA Yogyakarta di Pakem, Kabupaten Sleman, karena kondisinya sangat bagus dan sangat manusiawi bagi para warga binaan (narapidana).

"Ini sangat luar biasa. Setelah saya berkunjung ke sejumlah provinsi, baru ini saya menemukan lapas yang sangat bagus dan manusiawi, sehingga tidak melanggar hak-hak narapidana (napi)," katanya saat mengunjungi Lapas Narkotika Yogyakarta, pekan lalu.Menurut dia, selain lingkungannya bersih, para napi dapat merasakan kenyamanan, karena satu ruangan maksimal hanya dihuni tiga orang, dan mereka tidur beralaskan kasur yang bagus.

"Beberapa kali saya menemui lapas di provinsi lain yang kondisinya sangat tidak manusiawi, seperti tanpa alas untuk tidur, bahkan untuk tidur pun harus bergantian, dan para penghuninya sampai tidak bisa mengenakan baju, hanya memakai celana dalam karena ruangannya panas dan penuh sesak," katanya.Ia mengatakan, Lapas Narkotika Yogyakarta yang memiliki kapasitas 474 napi itu, saat ini hanya dihuni 195 orang, sehingga bisa dijadikan percontohan bagi lapas di daerah lain.

"Lapas yang hanya dihuni sekitar 30 persen dari kapasitas yang ada itu, juga menunjukkan bahwa di Yogyakarta tidak terlalu banyak warga yang terkena masalah hukum. Bahkan ini juga terlihat di Lapas Wirogunan maupun Rutan Yogyakarta yang tidak terlalu sesak penghuninya," katanya.Patrialis mengatakan, Kementerian Hukum dan HAM akan berupaya meningkatkan hak-hak napi terutama dari sisi kemanusiaannya, dengan memberikan pelayanan yang baik. "Bahkan jika ada napi yang atas rekomendasi dokter harus tidur di ruangan ber-AC, itu akan dipenuhi, dan jika lapas tidak memiliki anggaran, dipersilakan pihak keluarga memasang AC di ruang tahanan, karena ini memang hak kemanusiaan napi," katanya (Ant)

http://hukumham.info/index.php?option=com_content&task=view&id=4009&Itemid=99999999